Legalisasi kasino bukan Solusi |
Angka Rp 271 triliun dari legalisasi kasino mungkin terdengar menggiurkan, tetapi faktanya jauh dari yang dibayangkan. Jumlah fantastis ini sering diklaim sebagai potensi pendapatan negara jika Indonesia melegalkan industri perjudian. Namun, pengalaman negara-negara lain menunjukkan realita yang berbeda.
Uang 271 triliun—yang setara dengan 271.000 miliar—ternyata tidak sebanding dengan dampak sosial yang ditimbulkan. Gambaran uang 271 triliun dengan deretan nol yang panjang memang memikat, tetapi penelitian mengungkapkan bahwa setiap satu dolar pendapatan dari perjudian legal dapat mengakibatkan biaya sosial hingga 7 sampai 10 dolar. Bahkan di Kyrgyzstan yang melegalkan perjudian pada Juni 2022, mereka hanya berhasil mengumpulkan 100 juta KGS (sekitar Rp 18,85 miliar) dalam tahun pertama, jauh di bawah ekspektasi 3-6 miliar soms (Rp 565,64 miliar hingga Rp 1,131 triliun).
Meskipun Thailand mengalami peningkatan 19 juta wisatawan dalam lima tahun pertama setelah legalisasi kasino, kita perlu melihat sisi lain seperti Makau. Negara yang dijuluki "Las Vegas Asia" ini menghasilkan USD 45 miliar dari pendapatan kasino pada 2013, tetapi kemudian mengalami keruntuhan ekonomi parah selama pandemi dengan 80% PDB terdampak karena ketergantungan berlebihan pada perjudian.
Di samping itu, Filipina juga menghadapi masalah signifikan yang menyebabkan penutupan 175 perusahaan perjudian lepas pantai dan deportasi sekitar 4.000 pekerja Tiongkok karena insiden terkait kejahatan. Sebaliknya, ekonomi halal Indonesia memiliki potensi perputaran mencapai Rp 4.375 triliun per tahun, menunjukkan peluang ekonomi alternatif yang lebih berkelanjutan.
Tren Legalisasi Kasino di Dunia dan Indonesia
Tren legalisasi kasino terus menguat di berbagai negara, termasuk di kawasan Asia Tenggara. Baru-baru ini, Kabinet Thailand menyetujui rancangan undang-undang yang melegalkan perjudian dan kasino dalam upaya mendorong pariwisata, menciptakan lapangan kerja, dan menarik investasi. Langkah ini diproyeksikan dapat meningkatkan jumlah pengunjung asing sebesar 5 hingga 10 persen dan pendapatan pariwisata bertambah sekitar 120 hingga 220 miliar baht (Rp56,3 triliun hingga Rp103,18 triliun).
Di Asia Tenggara, hanya Indonesia dan Brunei yang masih melarang perjudian. Negara-negara tetangga seperti Kamboja, Singapura, Filipina, Laos, dan Myanmar telah meraup keuntungan signifikan dari kompleks kasino besar. Khususnya, dua kasino Singapura pada 2010 tercatat mendulang penghasilan kotor mencapai Rp 95,13 triliun. Sementara itu, Makau yang dijuluki "Las Vegas Asia" mencatat perputaran uang di kasino mencapai Rp 570,78 triliun pada tahun yang sama.
Namun, tidak semua masyarakat mendukung legalisasi. Meskipun Thailand berencana melegalkan kasino, sebuah survei mengungkap 69 persen responden menolak legalisasi judi online dan 59 persen tidak setuju dengan adanya kompleks hiburan untuk perjudian dan kasino.
Indonesia sendiri memiliki sejarah panjang dengan perjudian legal. Pada masa Gubernur Ali Sadikin (1966-1977), Jakarta memiliki kasino legal pertama yang menghasilkan pemasukan sekitar Rp 600 juta per tahun atau setara dengan Rp 64 triliun dengan asumsi kurs saat ini. Dari pajak judi, pelacuran, bar, dan panti pijat, anggaran pemprov DKI berhasil ditingkatkan dari hanya Rp 66 juta per tahun menjadi Rp 122 miliar pada 1977.
Selanjutnya, berbagai bentuk perjudian "legal" bermunculan seperti Undian Harapan (1976), Sumbangan Sosial Berhadiah (1979-1988), dan Porkas (1985-1987) yang meraup omzet Rp 29 miliar dari kupon seharga Rp 300 per lembar. Meskipun demikian, perjudian kembali dilarang karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama dan moral Pancasila.
Pertanyaannya, apakah potensi pendapatan Rp 271 triliun dari legalisasi kasino di Indonesia bisa menjadi solusi ekonomi, atau justru menimbulkan masalah sosial yang lebih besar? Fakta menunjukkan bahwa meskipun angka tersebut fantastis, beban sosial yang ditimbulkan tidak bisa diabaikan.
Belajar dari Negara Lain: Ketika Harapan Tak Sesuai Kenyataan
Janji manis pendapatan kasino sering meleset dari kenyataan. Mari kita lihat kasus nyata di beberapa negara yang sudah melegalkan perjudian.
Kyrgyzstan adalah contoh paling jelas bagaimana proyek kasino bisa mengecewakan. Setelah satu dekade moratorium, negeri "Swiss Asia" ini memutuskan melegalkan perjudian bagi warga asing pada Juni 2022. Pemerintah Kyrgyzstan memproyeksikan pendapatan fantastis 3-6 miliar soms (sekitar Rp565,64 miliar hingga Rp1,131 triliun) setiap tahun. Namun kenyataannya? Tahun pertama hanya menghasilkan 100 juta KGS (Rp18,85 miliar). Meskipun meningkat pada 2024, pendapatan tetap jauh dari harapan, hanya 271,2 juta KGS atau sekitar Rp51,13 miliar per tahun.
Filipina mengalami nasib lebih buruk. Alih-alih mendapatkan keuntungan, industri perjudian justru membawa masalah keamanan serius. Akibatnya, 175 perusahaan perjudian lepas pantai ditutup dan sekitar 4.000 pekerja asal China dideportasi. Penutupan ini dipicu oleh laporan pembunuhan, penculikan, dan berbagai kejahatan yang dilakukan warga negara China terhadap sesama warga China.
Makau yang dijuluki "Las Vegas Asia" pernah mencetak pendapatan USD 45 miliar dari kasino (2013). Tetapi ketika pandemi melanda dan China membatasi arus wisatawan, ekonomi Makau kolaps. Sebanyak 80% PDB-nya ambruk karena terlalu bergantung pada judi. Kini, mereka kesulitan melakukan diversifikasi pariwisata.
Kepulauan Mariana Utara (CNMI) juga sempat mengalami "boom" ekonomi berkat satu kasino besar. Tetapi pada 2021, kasino tersebut bangkrut karena korupsi, kerusakan lingkungan, dan ketergantungan pada ekonomi tunggal.
Bahkan di Thailand yang baru melegalkan kasino, sebuah survei mengungkap 69% responden menolak legalisasi judi online dan 59% tidak setuju dengan adanya kompleks hiburan untuk perjudian. Ini menunjukkan bahwa masyarakat sesungguhnya sadar akan dampak negatif judi, meski pemerintah tergiur oleh gambaran uang 271 triliun yang mungkin tak pernah jadi kenyataan.
Mengapa Rp 271 Triliun Bukan Solusi Nyata
Nominal Rp 271 triliun yang sering disebut-sebut ternyata menyimpan cerita berbeda. Angka ini sebenarnya berasal dari kasus korupsi PT Timah yang menyebabkan kerugian lingkungan, bukan proyeksi pendapatan dari legalisasi kasino. Kejaksaan Agung bahkan menyatakan kerugian total mencapai Rp 300 triliun.
Jika legalisasi kasino benar-benar terjadi, penelitian internasional menunjukkan bahwa setiap 1 dolar pendapatan dari perjudian legal justru menciptakan kerugian sosial sebesar 7 hingga 10 dolar. Artinya, jika Indonesia berpotensi mendapat Rp 15 triliun dari pajak judi, maka biaya sosial yang ditanggung masyarakat bisa mencapai Rp 105 hingga Rp 150 triliun per tahun.
Selain itu, dampak kesehatan dari perjudian sangat merusak. Kecanduan judi menurunkan aktivitas fisik, meningkatkan risiko obesitas, gangguan jantung, dan komplikasi kesehatan lainnya. Pada aspek mental, judi online memicu depresi, kecemasan, dan gangguan kemampuan fokus serta kontrol diri. Bahkan dalam kasus ekstrem, kecanduan judi dapat berujung pada bunuh diri.
Secara ekonomi, legalisasi kasino tidak menjamin pendapatan signifikan. Di Kyrgyzstan, tahun pertama legalisasi hanya menghasilkan Rp 18,85 miliar, jauh di bawah proyeksi Rp 565,64 miliar hingga Rp 1,131 triliun. Biaya pengawasan kasino juga sering lebih mahal dibanding pendapatannya.
Sementara itu, Indonesia memiliki alternatif ekonomi yang lebih menjanjikan. Potensi ekonomi halal mencapai perputaran Rp 4.375 triliun per tahun dengan aset keuangan syariah sekitar Rp 5.000 triliun. Angka ini jauh melampaui gambaran uang 271 triliun dari legalisasi kasino.
Ketika Prancis mempertimbangkan legalisasi kasino online, Féderation Addiction menyebutnya "tidak bertanggung jawab dan bertentangan dengan prioritas kesehatan publik". Bahkan industri kasino dunia nyata memprotes karena berpotensi menutup 30% kasino fisik dan menghilangkan 15.000 lapangan kerja.
Indonesia juga menghadapi risiko hukum. KUHP dan UU ITE dengan tegas melarang perjudian dengan ancaman pidana penjara hingga 6 tahun dan denda 1 miliar rupiah. Oleh karena itu, legalisasi kasino bukanlah solusi nyata bagi perekonomian Indonesia.
Kesimpulan
Fakta-fakta tersebut jelas menunjukkan bahwa janji pendapatan Rp 271 triliun dari legalisasi kasino sebenarnya tidak sebanding dengan biaya sosial yang akan ditanggung. Secara keseluruhan, pengalaman negara-negara seperti Kyrgyzstan, Filipina, dan Makau memberikan pelajaran berharga bahwa pendapatan dari perjudian seringkali tidak sesuai dengan proyeksi awal. Bahkan, biaya sosial yang harus ditanggung bisa mencapai 7 hingga 10 kali lipat dari pendapatan yang dihasilkan.
Selain itu, dampak kesehatan mental dan fisik dari kecanduan judi tidak boleh diabaikan. Depresi, kecemasan, obesitas, dan gangguan jantung hanyalah sebagian kecil dari konsekuensi yang harus dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, kita perlu mempertimbangkan dengan matang apakah potensi pendapatan yang belum pasti tersebut layak ditukar dengan kesejahteraan sosial jangka panjang.
Terlebih lagi, Indonesia memiliki alternatif ekonomi yang jauh lebih menjanjikan dan berkelanjutan. Ekonomi halal dengan potensi perputaran mencapai Rp 4.375 triliun per tahun merupakan peluang yang lebih selaras dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia. Dibandingkan dengan gambaran uang 271 triliun yang belum tentu terwujud, pengembangan sektor ekonomi halal tentunya lebih menguntungkan.
Meskipun tren legalisasi kasino menguat di negara-negara tetangga, namun kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa setiap negara memiliki konteks sosial dan budaya yang berbeda. Pada akhirnya, keputusan untuk melegalkan atau tetap melarang perjudian harus didasarkan pada pertimbangan yang komprehensif, bukan sekadar janji pendapatan fantastis yang ternyata bisa menjadi bumerang bagi kesejahteraan masyarakat.
No comments:
Post a Comment